Pernahkah kamu berpikir tentang dimanakah rumahmu sebenarnya? Disini aku berbicara tentang tempat dimana hatimu berada, tempat dimana hidupmu berjalan dan tempat dimana kamu merasa you belong to.
Bagiku saat ini, rumah itu adalah di Salatiga. Aku memang belum mempunyai rumah sendiri, tetapi disinilah aku merasa I belong to. Disinilah tempat dimana aku menjalani kehidupanku, menghadapi masalahku, bertemu dengan orang-orang yang memberi inspirasi, membangun hubungan dengan teman yang sudah menjadi seperti keluarga sendiri.
Salatiga sudah menjadi comfort zone untukku. Sesekali terlintas di pikiranku untuk pindah ke tempat yang lain tetapi berpikri bahwa itu akan menjadi kenyataan adalah hal yang sulit. Beberapa tahun yang lalu aku bergumul tentang apakah aku akan tinggal di Salatiga lebih lama atau tidak. Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak ingin tinggal lebih lama disini. Aku selalu berpikir untuk punya pekerjaan yang membuka kesempatan buatku untuk berkeliling dunia dan melihat tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi dan tinggal di salah satu tempat itu.
Teman-temanku mendorong aku untuk berdoa tentang hal itu. Aku mulai berdoa dan mencari tahu, meminta dan bahkan memohon kepada Tuhan supaya membuka kesempatan untuk hal itu. Doa-doa yang selalu aku sampaikan sepertinya tidak membawa perubahan apapun, atau bahkan kesempatan sekalipun. Malahan, keadaan seperti berbalik arah dari apa yang aku doakan. Sepertinya aku malah ditanam jauh lebih dalam sehingga aku tidak bisa keluar dari kota ini.
Aku bertanya kepada Tuhan, kenapa malah aku sepertinya tidak bisa keluar dari tempat ini. Bukannya aku tidak bersyukur tentang apa yang sudah aku miliki di tempat ini tetapi sebagai manusia aku juga ingin spread my wings and fly. Pada satu titik aku berhenti dan menyadari bahwa akan lebih baik kalau aku “sumeleh” kepada Gusti. Aku berpikir kalau Gusti ingin aku tinggal di Salatiga untuk selamanya, maka jadilah kehendak-Nya.
Di titik inilah saat ini aku berada. Titik kenyamanan dimana aku merasa segala sesuatunya berjalan dengan baik dan sepertinya Yohanes dan Salatiga sudah menyatu erat.
Pagi ini aku ke gereja dan pembicaranya berbagi tentang bagaimana dia dan keluarganya merasa bahwa Salatiga sudah menjadi rumah bagi mereka dan berencana untuk tinggal selamanya disini. Sepertinya tidak ada satu halpun yang dapat mengubah hal itu. Tetapi, satu hari Tuhan meminta mereka untuk melihat satu tempat lain. Tempat dimana Tuhan meminta mereka untuk tinggal dan melayani disana.
Aku tidak tahu kenapa cerita yang dibagikan oleh pembicara itu menggangu pikiranku. Well, memang dulu aku ingin pindah dari kota ini dan memulai sesuatu yang lain. Tetapi saat ini aku sudah merasa disinilah tempatku, rumahku. Dan untuk pindah ke tempat lain adalah sesuatu yang betul-betul harus aku pertimbangkan. Aku tidak mengatakan bahwa aku seperti pembicara itu yang mendapat visi dari Tuhan dan hal-hal semacam itu. Hanya saja aku merasa khawatir kalau hal itu terjadi dan Tuhan membuka kesempatan ditempat lain dan aku harus pindah.
Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk “sumeleh” kepada Tuhan dengan mengatakan bahwa kalau Tuhan berkehendak aku pindah ke tempat lain, maka jadilah kehendak Tuhan.
Hidup ini menarik sekali, dan penuh misteri. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada bab selanjutnya dalam kehidupan kita. Aku suka kata “sumeleh”, kata dalam bahasa Jawa yang berarti total surrender. Ego manusiaku sering berlawanan dengan ke-sumelehan-ku ini karena aku ingin tahu dan ingin punya kekuatan untuk mengendalikan kehidupan. Tapi seperti yang kita ketahui bukan itu cara kerja Tuhan.
Di salah satu novelnya yang penuh inspirasi, Susanna Tamaro, melalui tokoh fiktifnya berkata “dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang haru kauambil, janganlah memilihnya dengan asal saja. Tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah nafas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernafas di hari pertamu di dunia ini. Jangan biarkan apapun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetapi hening, dan dengarkanlah hatimu. Lalu ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah kemana hati membawamu...”
Aku tahu bahwa Susanna Tamaro bukanlah orang percaya. Tetapi kalimat itu begitu menyentuh karena pada beberapa hal seperti itulah cara kerja Tuhan dalam hidupku. Seringkali Dia berbicara melalui hati kecil.
Suatu saat, jika aku harus pindah ke tempat lain dan aku bimbang, mungkin aku perlu duduk dan menunggu. Aku mungkin akan menarik nafas dalam-dalam, dengan rasa “sumeleh”. Jika aku harus menunggu lebih lama lagi, maka aku akan menunggu. Aku mungkin perlu berdoa sehingga aku tahu apa kata Tuhan. Dan jika Tuhan berbicara melalui hati kecilku dan meminta aku untuk pergi, aku akan beranjak, dan pergi kemana Tuhan membawaku.
1 comment:
I hear ya.... SB
Post a Comment